Membaca konon menunjukkan tingkatan peradaban seseorang atau suatu bangsa. Tingkat peradaban terendah (paling dasar) jika seseorang baru gemar mendengar. Maka "jiping" (pengajian kuping) atau forum-forum yang hanya mengandalkan telinga (hanya memberi kesempatan audiens untuk mendengar), bisa dimasukan dalam kategori ini. Setingkat diatasnya berbicara, di atasnya lagi ada membaca, kemudian menulis, dilanjutkan dengan mendokumentasikan apa yang ditulis, dan yang paling tinggi menganalisis (kemampuan berpikir analitik).
Jadi kalau data menunjukkan bahwa tingkat membaca masyarakat Indonesia masih rendah seperti digambarkan dalam berita yang saya lampirkan berikut ini, sesungguhnya itu bukan soal sederhana. Itu menggambarkan ditingkat mana peradaban kita sekarang berada, yaitu tertinggal jauh dilandasan!
Karena hal itu menurut saya kita tidak perlu menyalahkan siapa-siapa atau selalu mengeluarkan jurus teori konspirasi Barat, kalau negara kita sejak dulu, sampai sekarang dan entah sampai kapan; selalu dikategorikan sebagai Negara berkembang. Wong membaca belum jadi kultur masyarakat! Padahal membaca baru tangga kedua dari beberapa tingkatan peradaban yang ada.
Maka upaya meningkatkan kegemaran masyarakat membaca harus dilihat sebagai sesuatu yang serius. Menggemarkan membaca, upaya (buat yang muslim) mengamalkan salah satu ayat Al-Qur'an, Iqro. Menggemarkan membaca merupakan upaya meningkatkan kualitas SDM kita yang pada akhirnya akan meningkatkan Human Development Index (HDI) Indonesia yang saat ini masih bertengger dinomor bontot. Lebih dari itu menggemarkan membaca sesungguhnya juga merupakan upaya kita untuk naik kelas, menjadi bangsa yang lebih berada, menjadi bangsa yang lebih berbudaya!
Jadi, yuk ajak siapapun gemar membaca!
Salam berbagi.
Wahidah R Bulan
MINAT BACA MASYARAKAT MASIH RENDAH
Warta Kota, Palmerah
Indonesia hanya menerbitkan sekitar 24.000 judul buku per tahun dengan rata-rata cetak 3.000 eksemplar per judul. Dalam setahun, Indonesia hanya menghasilkan sekitar 72 juta buku.
”Dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia 240 juta jiwa, berarti satu buku rata-rata dibaca 3-4 orang,” kata Efi Efrizal Sinaro, Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) DKI Jakarta belum lama ini.
Padahal, berdasarkan standar UNESCO, idealnya satu orang membaca tujuh judul buku per tahun. ”Berarti minat baca masyarakat Indonesia masih rendah. Masih jauh dari standar UNESCO,” kata Efrizal.
Ketua Pengurus Pusat Ikapi Lucya Andam Dewi mengatakan, rendahnya minat baca ini terasa ironis karena anggaran untuk fungsi pendidikan sangat tinggi, yakni 20 persen dari APBN per tahun. Kenyataannya, Indonesia berada di urutan ke-60 untuk minat baca masyarakatnya dari 65 negara.
Era digital
Lucya mengatakan, untuk meningkatkan minat baca harus ada pemaksaan program membaca di level pendidikan dasar. ”Siswa diwajibkan membaca dan menulis,” kata Lucya.
Lucya mengatakan, untuk meningkatkan minat baca harus ada pemaksaan program membaca di level pendidikan dasar. ”Siswa diwajibkan membaca dan menulis,” kata Lucya.
Tantangan minat baca akan semakin berat, kata Lucya, karena saat ini dunia bergeser ke era digital. ”Di negara lain, era digital terjadi ketika masyarakatnya sudah gemar membaca. Sementara Indonesia memasuki era digital ketika minat bacanya masih rendah,” kata Lucya.
Tidak heran jika kemudian di Indonesia, era digital dimanfaatkan untuk memudahkan plagiat atau ”copy paste”. Sekarang juga marak fenomena book packager yang berkonotasi negatif karena mampu membuat buku apa saja dalam waktu singkat, tanpa memperhatikan kualitas, nilai, dan orisinalitas gagasan.
Budayawan Taufiq Ismail menekankan, sejarah peradaban manusia membuktikan bahwa bangsa yang hebat ternyata masyarakatnya memiliki minat baca yang tinggi. Masyarakatnya sejak dini sudah terlatih dan terbiasa membaca.
Pada masa penjajahan Belanda, misalnya, siswa AMS-B (setingkat SMA) diwajibkan membaca 15 judul karya sastra per tahun, sedangkan siswa AMS-A membaca 25 karya sastra setahun. Siswa AMS wajib membuat 1 karangan per minggu, 18 karangan per semester, atau 36 karangan per tahun. ”Sementara siswa SMA saat ini tidak wajib membaca buku,” ujarnya.
Padahal, siswa SMA di Amerika Serikat diwajibkan membaca 32 judul karya sastra dalam setahun, siswa Jepang 15 judul, Brunei 7 judul, Singapura dan Malaysia 6 judul, serta Thailand 5 judul.
Firdaus Umar, Ketua Gabungan Toko Buku Indonesia, mengatakan, setiap tahun ada sekitar Rp 10 triliun dana yang dibelanjakan untuk buku.
”Jangan-jangan anggaran sebesar itu salah sasaran. Bukannya meningkatkan minat baca, tetapi jadi ’bancakan’,” ujarnya. (ELN)
Bener banget, Mak. Mminat baca di negara kita masih rendah. Selain buku yang mahal, dunia pertelevisian kita sangat dominan. Akibatnya anak-anak muda lebih suka menonton tv daripada membaca. :(
BalasHapusTrims Mak Nia sudah berkunjung dan berkomentar. Salam kenal. Ya, mak. Kadang kehilangan akal harus melakukan apa lagi untuk menggugah orang-orang disekitar kita untuk mau membaca. Sebenarnya sudah banyak upaya yang dilakukan sejumlah orang untuk menggemarkan membaca. Tapi soalnya lebih banyak lagi serbuan dari kiri-kanan yang justru "menganulir" upaya-upaya tersebut. Perlu gerakan sepertinya dan tidak cukup upaya yang dilakukan orang per orang. Any way, kita perlu terus bersemangat dan berbagi semangat ya, Mak Nia.. Tak ada persoalan yang tak bisa diatasi jika kita terus mengupayakan. Sekali lagi salam kenal...
BalasHapus