MARI BERBAGI, MEMBUAT HIDUP LEBIH BERARTI
>

22 November 2007

Opini: PENGUATAN WARGA, AGENDA PEMBERDAYAAN (POLITIK) MASYARAKAT YANG TERABAIKAN

Ada satu program RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) Kota Depok yang hingga kini belum jelas nasibnya, yaitu forum warga. Meski sudah dianggarkan pada APBD tahun ini, langkah-langkah konkrit kearah implementasi, hingga menjelang tutup tahun, belum juga terlihat.

Pemkot boleh jadi menganggap program yang masuk RPJMD melalui jalur advokasi itu, bukan program prioritas. Atau bisa jadi mengganggapnya beban sehingga cenderung mengabaikan. Apapun motifnya, Pemkot seharusnya tidak bersikap mendua dengan memberi perlakuan berbeda antara program yang diusulkan sendiri dengan program yang diserap melalui proses keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan. Pemkot seharusnya memberi dukungan penuh agar program fórum warga bisa terlaksana sebagaimana dukungan penuh juga dilakukan Pemkot terhadap program yang diusulkannya sendiri. Atau Pemkot akan dituding melakukan kebohongan publik karena penyerapan aspirasi tentang fórum warga ternyata hanya kamuflase.

Forum warga merupakan program yang sangat urgen dalam konteks perwujudan demokrasi. Tabiat asasi elit yang cenderung memonopoli kekuasaan dan menikmat keuntungan-keuntungan yang ditimbulkan melalui kekuasaan (Mosca, 1939:50), menyebabkan demokrasi kini dilihat sebagai proyek massal yang harus menyentuh penguatan seluruh elemen masyarakat sipil. Satu diantaranya melalui penguatan institusi warga (neighborhood organization), yang merupakan salah satu elemen civil society selain LSM, organisasi massa, organisasi profesi, media-massa, lembaga pendidikan, serta lembaga lain yang tidak termasuk dalam ranah politik (state) dan ekonomi (private sector).

Program penguatan warga terutama program penguatan hak-hak politik masyarakat, faktanya masih sangat terbatas dan cenderung bersifat elitis. Contohnya program penguatan hak-hak politik masyarakat yang tersedia templatenya di Depdagri dan dicopy paste oleh Dinas Kesatuan Kebangsaan dan Politik (Kesbangpol) atau Dinas Kesatuan Kebangsaan dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas) Provinsi hingga Daerah. Program yang diberi judul pendidikan politik dan fasilitasi orsospol dan organisasi keagamaan itu secara substansi implementasinya terfokus hanya pada pemenuhan kepentingan para pegiat atau aktifis civil society, terutama elit Civil Society Organization (CSO).

Contoh lain program pembentukan berbagai forum ditingkat Kota/Kabupaten/Provinsi semisal forum stakeholder, forum perencanaan pembangunan, atau Gugus Kerja (Task Force). Kehadiran forum-forum tersebut hanya mampu mewadahi kepentingan terbatas elit civil society dan gagal memberi ruang bagi proses konsolidasi masyarakat dilevel warga (basis). Hal ini juga tergambar dari fokus gerakan yang masih diarahkan kepada aktifitas negosiasi dan lobby antara elit civil society dengan para elit pengambil kebijakan ditingkat provinsi atau daerah. Aktifitas membangun kesadaran warga dan atau membangun komunikasi intensif antara warga dan antara kelompok-kelompok warga ditingkat akar rumput, masih sangat minim.

Karenanya tak berlebihan kalau dikatakan bahwa program penguatan warga relative tertinggal dibanding program penguatan civil society dari elemen lainnya. Padahal program penguatan warga merupakan keharusan agar program penguatan civil society yang selama ini berjalan, tidak terputus dari akar gerakannya. Program penguatan warga juga menjadi strategis agar gerakan advokasi civil society yang diaddress untuk memperjuangkan kepentingan publik, tidak dianggap sekedar claim sepihak para pegiat civil society, karena mendapat apresiasi atau dukungan real masyarakat luas.

Selain itu sebagaimana diungkap Hikam (Hikam, 1996:58), strategi penguatan civil society harus melibatkan kekuatan politik arus bawah sebagai agen sosial politik penting selain kekuatan intelektual (mahasiswa) dan kekuatan kelas menengah. Kekuatan politik arus bawah penting karena dalam jangka panjang mereka akan memainkan peran sebagai sumber kekuatan dan sekaligus sebagai sasaran penting pemberdayaan politik.

Gabriel Almond juga mengungkapkan hal serupa. Menurut Almond (Almond,1984:152-153), komunitas lokal sangat tepat dijadikan titik awal karena problem politik dan pemerintahan cenderung dapat dipahami dalam pengembangan unit pemerintahan yang mengakar. Almond juga mengungkapkan bahwa demokrasi yang efektif terletak pada kemampuan individu untuk berpartisipasi ditingkat lokal, karena disinilah penduduk dapat mengembangkan beberapa kapasitas untuk menguasai berbagai masalah politik. Unsur kepuasan demokrasi justru terletak pada keterlibatan penduduk dalam jumlah besar didalam proses kerja unit pemerintahan berskala kecil, baik dalam hubungannya dengan pemerintahan lokal, serikat kerja, koperasi atau bentuk aktivitas lainnya (Bryce,1921:132).

Persoalannya kemudian, situasi politik ditingkat arus bawah, selain tertinggal karena rendahnya intervensi program dari pemerintah, dimasa Orde Baru mengalami ketidak-hadiran partisipasi politik aktif dalam arti sebenarnya (Hikam, 1996). Hal ini menyebabkan petani, buruh, bahkan kekuatan ditingkat komunitas mengalami stagnasi akibat pengawasan politik yang sangat represif melalui pengaturan kerjasama, kooptasi dan mobilisasi yang diorganisir.

PKK misalnya. Lembaga yang satu ini sulit keluar dari sejarah masa lalunya yang kelam sebagai alat politik penguasa. Penempatan kepengurusan PKK yang hingga kini masih merujuk pada posisi “suami” di institusi pemerintahan, menjadikan organisasi ini tidak dapat dianggap sebagai institusi independen. Yang agak ekstrim mengganggapnya lebih sebagai institusi tempat para pejabat mengamankan kekuasaan. Adapun kegiatan kemasyarakat yang juga menjadi agenda kerja PKK, dinilai tak lebih dari sekedar suplemen dan bukan fokus gerakan.

Begitu pula halnya dengan Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT). Kedua institusi ini sulit disebut sebagai neighborhood organization dalam arti sesungguhnya karena peran konkritnya yang lebih sebagai perpanjangan kepentingan pemerintah (kelurahan) ketimbang sebagai penyerap aspirasi masyarakat.

Karena berbagai keterbatasan itulah forum warga yang dapat didefiniskan sebagai tempat bertemunya seluruh warga atau unsur-unsur warga disatu lingkungan (komunitas) untuk membicarakan berbagai hal secara dialogis, terbuka, transparan dan demokratis guna mengatasi persoalan dan meningkatkan kerjasama antar warga, termasuk peningkatan manfaat pembangunan, menjadi penting artinya. Forum warga merupakan upaya revitalisasi neighborhood organization. Forum warga merupakan upaya pemaknaan kembali partisipasi politik arus bawah.

Forum warga yang bersifat non formal karena pembentukannya tidak membutuhkan landasan hukum seperti akte pendirian, AD/ART, dll, faktanya mampu melahirkan kekuatan daya dorong luar biasa terutama terkait dengan intervensi terhadap public policy. Sebagai contoh apa yang terjadi di Rawa Jati, Jakarta Selatan.

Forum yang awalnya hanya merupakan gerakan sederhana 20 orang ibu-ibu kader PKK yang memiliki komitmen untuk menciptakan lingkungan sekitarnya menjadi hijau dan asri, dalam kurun waktu yang sangat pendek, mampu berubah menjadi gerakan besar yang eksistensinya diakui bahkan oleh para pengambil keputusan ditingkat Kecamatan hingga Kota. Suara forum hingga kini menjadi rujukan para pengambilan kebijakan dalam perumusan dan pelaksanaan program penghijauan, pengelolaan sampah berbasis lingkungan, dan program pemberdayaan ekonomi rumah-tangga. Karena itu tak heran jika forum warga dinilai efektif sebagai wadah membangun demokrasi berbasis warga (grass-roots democracy) dengan keunggulan khas melakukan intervensi terhadap local decision making.

Karena hal itu Pemkot selayaknya melihat forum warga sebagai sumber dukungan (resources) efektif bagi penyelesaian berbagai agenda dan problem pembangunan dan bukan semata-mata sebagai program yang membebani anggaran. Forum warga yang difasilitas pembentukannya secara maksimal hingga mampu bekerja efektif, akan memberi kontribusi positif bagi penyelesaian masalah warga dilingkungan dimana forum warga itu berada, selain sebagai wadah peningkatan kapasitas masyarakat (capacity building) dibidang sosial dan politik. Jadi tunggu apalagi?

Depok, 21 November 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sampaikan komentar anda untuk memperkaya wacana